Ada yang berbeda saat pertama kali kaki ini menginjak Makkah bukan karena panasnya, bukan karena keramaian jemaah dari seluruh dunia. Tapi karena jantung ini berdegup lebih cepat—seperti tahu bahwa aku sedang menuju rumah-Nya untuk yang kedua kalinya.
Ya, aku merasakan getaran itu, saat berkunjung ke dua kalinya yakni di bulan Mei 2017. Dua bulan sebelumnya pada bulan Maret 2017, Saya datang bersama 435 jemaah masih dalam tugas yang sama melayani tamu-tamu Allah.
Saat pertama kali melihatnya, Ka’bah tidak bersuara, tapi ia berbicara. Ia menggetarkan sehingga mata tak berkedip, mulut komat-kamit menyebut asma Allah, dan air mata jatuh tanpa perlu alasan. Di hadapannya, dunia seakan hilang yang tersisa hanya aku dan Dia yang Maha Mendengar.
Tawaf mengajarkan kita bahwa hidup ini terus berputarm kadang di bawah, kadang di atas. Tapi selama kita tetap mengelilingi poros yang benar yakni Allah, maka putaran itu tak akan pernah sia-sia.
Makkah bukan kota biasa. Ia keras, ia panas, tapi ia menghidupkan. Ia bukan tempat untuk berfoto saja, tapi untuk melepas dosa, memperbarui niat, dan memperdalam cinta kepada Allah.
Dan seperti Madinah, Makkah pun meninggalkan bekas. Bukan hanya di telapak kaki, tapi jauh lebih dalam di relung hati yang akhirnya mengerti apa arti “pulang”.
Masjidil Haram, tempat di mana segala arah bersatu. Tak peduli dari mana datangnya, setiap Muslim yang ruku dan sujud akan menghadap titik yang sama yakni Ka’bah.
Tidak ada lelah yang kurasakan, sekalipun hariku di sana selalu disibukkan dengan mencari jemaah yang nyasar. Bertanggung jawab dengan ratusan jemaah bukan jumlah yang sedikit, apalagi saya bertugas hanya empat orang. Namun, semua terasa sangat mudah.
Ketika hati telah bersujud di tanah suci kita semua sama, tidak ada kaya atau pun miskin. Tidak ada yang tinggi jabatannya, atau rendah. Tidak ada yang turunan bangsawan atau bukan. Kita semua sama sebagai hamba Allah SWT.