Ketika Anak Kecanduan Game, Belajar Sabar dari Si Sulung

Kali ini saya sedikit bercerita tentang besarnya tantangan hidup orang tua masa kini. Ya, ini tentang anak kecanduan game.

Saya adalah seorang ibu dari tiga anak. Anak pertama, perempuan, kini duduk di kelas 2 SMP. Anak kedua, laki-laki yang baru tamat SD, sebentar lagi menyusul kakaknya. Si bungsu, anak laki-laki kelas 3 SD, manja dan sangat sensitif.

Setiap hari rumah kami penuh warna, tawa, tangis, pertengkaran kecil, dan pelukan yang saling menyembuhkan. Mereka sering berantem, lalu akur, lalu berantem lagi begitulah dinamika hari-hari kami.

Tiga anak, tiga karakter, tiga sumber tawa sekaligus ujian jiwa.

Hampir setiap hari rumah kami ramai oleh riuhnya pertengkaran kecil, berebut remote, saling sindir, berteriak, lalu tertawa bersama seolah tak pernah terjadi apa-apa. Kadang saya ikut tersulut, kadang hanya bisa menghela napas panjang dan berkata dalam hati, “Namanya juga anak-anak”

Namun, hari itu berbeda. Saya mulai kehilangan anak pertama saya, bukan secara fisik, tapi jiwanya seolah mulai menjauh.

Saat Game Mengambilnya dari Kehidupan Nyata

Anak kami kecanduan game, bangun pagi yang dicari handphone. Tidak ada lagi semangat belajar, apalagi berangkat sekolah. Dunia baginya hanya layar dan karakter digital.

Sebagai orang tua, kami sangat terpukul. Puncaknya, saat kami mengambil handphonenya, dia mengamuk luar biasa, tantrum. Teriakan, tangisan. Ia seperti orang lain. Anak pendiam kami berubah menjadi lautan emosi yang meledak-ledak.

Kami mencari jawaban ke mana-mana, bertanya ke teman, membaca ratusan artikel parenting. Tapi tidak ada yang benar-benar menjawab keresahan hati kami.

Lalu saya mengambil langkah yang tidak biasa, kami izinkan ia tidak masuk sekolah seperti permintaannya. Bukan karena menyerah, tapi karena saya ingin membangun ulang jembatan antara hati kami berdua. Kami ingin dia tahu, kami bukan musuhnya.

Mencoba Jalan Profesional

Atas saran seorang sahabat, kami pun memutuskan untuk berkonsultasi ke psikiater. Selama dua minggu kami mendampingi si sulung. Kami belajar tentang trauma, emosi yang tak bisa diungkapkan, dan pentingnya koneksi batin dengan anak remaja.

Namun hasilnya belum terlihat, ia masih diam, masih jauh dan di titik itu, kami sadar bahwa sabar bukan tentang menunggu hasil cepat,tapi tentang tetap hadir meski tak tahu akhir.

Pelajaran yang Tak Kami Temukan di Buku

Kami belajar bahwa anak-anak tidak tumbuh dari teori kita, tapi dari teladan dan pelukan. Kadang cinta itu tidak bisa dikatakan, tapi harus ditunjukkan. Menjadi ibu berarti menjadi ruang pulang bahkan saat anak tidak menginginkan kita dekat.

Saya tidak tahu bagaimana akhir dari perjalanan ini, tapi saya tahu, saya tidak boleh menyerah.

Untuk semua ibu yang sedang menghadapi anaknya yang “berubah”
Kamu tidak sendiri, kamu tidak gagal, kamu hanya sedang tumbuh bersama anakmu di medan yang sunyi dan penuh air mata.

Sabar yang Membutuhkan Waktu

Tidak hanya berhenti pada psikiater pertama, kami terus mencari jalan lain.
Kami ingin putri sulung kami kembali meski hanya satu langkah kecil saja.
Kami ingin ada harapan, walau tipis.

Hingga akhirnya kami membawanya ke dokter penyakit dalam, bukan karena yakin ada penyakit fisik, tapi karena kami kehabisan arah. Kami bercerita dari awal tentang tangisan, kemarahan, keputusasaan.

Dari dokter tersebut, kami diberi rujukan ke rumah sakit untuk bertemu lagi dengan dokter psikiater yang berbeda.

Pertemuan itu seperti menemukan cahaya samar di lorong panjang. Ada ketenangan, ada harapan kecil. Anak kami diberi beberapa jenis obat untuk dikonsumsi selama seminggu.

Kami harus rutin kontrol, seminggu sekali. Sebulan penuh kami jalani itu, bolak balik rumah sakit ke rumah dan selama itu pula, anak kami tidak bersekolah.

Tapi dari hari ke hari, perlahan wajahnya mulai kembali seperti dulu. Suaranya lebih tenang, tatapannya tidak seasing kemarin.

Dan suatu pagi yang tak akan pernah saya lupakan, ia sendiri yang bangun dan berkata, “Bunda saya mau sekolah.”

Saya hanya bisa menangis bukan karena sedih, tapi karena Tuhan menjawab kesabaran kami.

Kini, ia kembali menjalani hari-harinya. Tak lagi sulit dibangunkan.
Tak lagi teriak ketika kami menyebut kata “belajar”. Ia kembali menjadi anak perempuan kami yang selama ini seperti hilang dalam kabut.

Saya belajar bahwa sabar itu tidak instan. Ia bisa menjadi ujian yang menyesakkan dada dan menguras air mata, tapi andai dulu kami menyerah, entah bagaimana nasib putri kami hari ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *