Melihat asap membumbung di langit Gaza, gedung-gedung roboh, rumah penduduk hancur rata dengan tanah. Anak-anak banyak yang kehilangan orang tuanya dan orang tua kehilangan anaknya. Pemandangan memilukan tentu saja mengiris hati kita semua yang menyaksikannya. Peristiwa kejam yang menimpa warga Palestina seolah mengetuk mata hati kita, mengingatkan agar terus menumbuhkan empati.
Di Gaza, kehidupan berjalan dalam kepingan-kepingan luka. Genosida 2023 meninggalkan jejak yang tak mudah terhapus ribuan nyawa melayang, rumah-rumah menjadi puing, dan suara tawa anak-anak berganti tangis pilu. Blokade panjang mencekik setiap pintu masuk kehidupan. Obat-obatan tertahan di perbatasan, pangan langka, dan air bersih menjadi kemewahan yang tak semua bisa nikmati. Kelaparan mengintai, membuat para ibu lebih sering menahan lapar demi memberi sesuap roti kepada anak-anaknya.
Namun, harapan mereka rakyat Gaza dan Palestina tidak pernah padam. Mereka terus yakin dan percaya bahwa dunia akan membantu dan meringankan bebannya. Mereka tidak pernah merasa sendiri, meskipun hidupnya tidak pernah tenang. Setiap jam dihantui Bom dan peluru yang setiap saat bisa merenggut nyawanya kapan saja.
Pada hari Jumat 12 September 2025, Majelis Umum PBB akhirnya resmi menyebut nama Palestina sebagai negara merdeka, hal itu disampaikan pada Deklarasi New York. Pernyataan itu pun, tentu saja menghadirkan Kebahagiaan pada warga warga Gaza dan seluruh negara yang berharap Palestina segera pulih.
Sebanyak 142 negara, berdiri dan mengakui Palsetina sebagai bangsa merdeka dan sebagai bangsa yang sah. Dalam pemungutan suara tersebut, tercatat 10 negaradan 12 negara di antaranya memilih abstain. Deklarasi New York hadir bukan sekadar teks diplomatik. Ia menjadi payung harapan bagi bangsa yang terlalu lama dipaksa hidup dalam reruntuhan.
Deklarasi New York ibarat jembatan yang dirajut dari serpihan luka Palestina menuju harapan baru. Dari ruang-ruang yang pernah dipenuhi isak tangis Gaza, kini dunia mencoba menghadirkan solusi bagi dua negara sebagai janji dalam damai. Meski luka genosida masih menganga, dokumen ini menjadi penanda bahwa dunia tidak tinggal diam, suara-suara kecil dari reruntuhan akhirnya menggema hingga ke podium tertinggi umat manusia.
Dukungan 142 negara seolah membuat Palestina terlahir kembali bukan dengan pesta melainkan dari air mata yang dipeluk dunia, disitulah kemerdekaan menemukan maknanya. Sebuah bangsa yang berdiri di reruntuhan tetapi, tidak pernah runtuh dari harapan.
Sudah saatnya Palestina hidup merdeka, dari reruntuhan Gaza dari kelaparan dan blokade yang tak pernah berhenti. Harapan tak pernah bisa dibom, dan mimpi tentang negeri yang bebas tak pernah bisa ditembak. Palestina mungkin tak lahir dari pesta meriah, tapi dari air mata yang dipeluk dunia. Sebanyak 142 negara menjadi saksi, bahwa di balik luka panjang, sebuah bangsa tetap bisa berdiri dan “Merdeka.”
10 Negara yang Menolak
1. Amerika Serikat 6. Paraguay
2. Israel 7. Mikronesia
3. Hungaria 8. Palau
4. Nauru 9. Papua Nugini
5. Argentina 10. Nauru
12 Negara yang Abstain
1. Albania 7. Guatemala
2. Kamerun 8. Moldova
3. Ekuador 9. Makedonia Utara
4. Kongo 10. Samoa
5. Ethiopia 11. Sudan Selatan
6. Fiji 12. Republik Ceko
