Sepotong Cerita di Pelataran Masjid Nabawi

Masjid Nabawi. Foto:duniacerita

Madinah kota yang sangat istimewa yang sejak kecil aku hanya mendengarnya dari cerita guru agama. Ibu guru menceritakan seperti apa itu Madinah kota penuh sejarah. Dari cerita itu, aku mulai berhayal tingkat tinggi untuk bisa sampai ke sana dengan memejamkan mata, meskipun hanya khayalan saat itu, rasanya bahagia sekali.

Pagi itu, di bulan Maret 2017 Madina bukanlah sebuah kota yang kutahu lewat cerita guru agama. Bukan semua video yang ku tonton di televisi saat musim haji. Aku ada dan berdiri di atas tanahnya, semuanya nyata. Aku merasakan kesejukan yang luar biasa suasana subuh menyambutku dengan damai. Aku terdiam sejenak, mengumpulkan semua kekuatanku perjalanan dari kota Jeddah ke Madinah seakan membuat tubuhku lelah.

Tapi, ketika tiba di Madinah. Air mataku pun tumpah sebuah kenyataan seakan menamparku dan meminta membuka mata melihat megahnya masjid Nabawi. Seketika kurasakan ketenangan yang tidak kutemukan di daerah lain.

Madinah kota yang tenang, berada di sana jiwa seakan khusyuk sejenak melupakan kehidupan duniawi. Meskipun aku datang ke Madinah hanya sebagai pelayan tamu Allah, namun aku merasa datang dalam bentuk yang istimewa. Mengurus jemaah adalah tugas utama dari kantor, saat itu bekerja di sebuah travel umrah.

Terlepas dari tugas mengurus jemaah, aku bisa beribadah di masjid yang di dalamnya ada makam Rasulullah SAW, Raudhah yang disebut sebagai taman surga yang selalu dirindukan umat Islam.

Aku gemetar, masjid yang megah ini bukan sekadar tempat beribadah tetapi tempat jatuhnya air mata dari jutaan manusia yang datang. Tempat doa-doa mengalir tanpa jeda. Madinah mengajarkan kita makna kedamaian. Tak ada teriakan, hanya zikir. Tak ada kejar-kejaran dunia, hanya keinginan untuk lebih dekat pada sang Pencipta.

Berada di Madinah, nafas terasa lebih tenang, hidup terasa lebih sederhana. Pagi hari, di pelataran masjid Nabawi pertama kali melihat payung-payung raksasa. Ribuan jemaah yang datang takjub.

Di Madinah, kita seperti saudara meskipun beda provinsi. Kita saling menyapa bahkan saling berbagi bekal. Di sini, tak peduli dari mana asalmu, semua duduk sejajar. Kaya atau miskin, muda atau tua, semua hanyut dalam satu ikatan: cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bagi yang pernah ke Madinah, pasti tahu—ia meninggalkan bekas. Bekas rindu, bekas tenang, bekas ketundukan. Dan bagi yang belum ke sana, semoga Allah mudahkan jalannya. Karena tak ada tempat di dunia ini yang mampu menenangkan hati sebaik Madinah. Sebelum meninggalkan Madinah, kupanjatkan doa agar bisa kembali berkunjung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *