Mona, Kamu di Antara Doa dan Harapan

Setiap perjuangan pasti akan menemukan titik akhir, dan bagi seorang Mona Putri Yudifa, titik itu tiba bersamaan dengan ujian skripsi yang baru saja ia selesaikan di Politeknik Kelautan dan Perikanan (Poltek KP) Bitung.

Gadis kelahiran Makassar tahun 2004 ini resmi menuntaskan satu fase penting dalam hidupnya perjalanan akademik yang dimulai sejak lulus dari SMA pada tahun 2022.

Mona bukanlah gadis biasa. Di balik wajah tenangnya, tersimpan semangat juang yang tak pernah padam. Sejak duduk di bangku SMA, Mona sudah dikenal sebagai pribadi yang tekun dan bertanggung jawab. Banyak aktivitas sekolah yang diikuti salah satunya Seni bela diri Tapak Suci. Beberapa kali mengharumkan nama sekolah saat mendapat juara 1 kejuaraan bela diri tingkat provinsi.

Disela-sela waktu sekolah, dia melatih silat menorehkan ilmu yang didapat oleh pelatihnya ke yuniornya di sekolah. Bukan hanya di sekolah, Mona bahkan sering diajak untuk melatih tapak suci di sekolah lain. Biasanya dari hasil melatih Mona mendapat honor Rp50.000, dalam seminggu dia melatih kadang sampai dua kali.

Dari honor kecil itu, anak pertama dari dua orang bersaudara ini, sering mentraktir kami tahu krispi. Masya Allah, dia begitu senang dan bahagia saat mendapat uang dari hasil keringatnya dan bisa berbagi dengan kami.

Tidak salah selepas SMA, memilih jalur pendidikan yang menantang sekaligus unik, Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung. Lebih tepatnya bukan dia yang memilih, tetapi dipilihkan (cerita kenapa Mona bisa sampai di Poltek Bitung ada cerita khusus nanti) di lembar berikutnya.

Selamat ya, Mona. Kamu baru saja menyelesaikan ujian di sebuah institusi yang dikenal dengan ketegasannya dalam membentuk karakter disiplin, kerja keras, dan cinta laut.

Tahun 2022 menjadi awal petualangan Mona di dunia Poltek KPB. Ia masuk sebagai taruni dengan tekad yang bulat, siap menghadapi dinamika kehidupan kampus yang keras namun penuh makna. Selama tiga tahun, Mona belajar bukan hanya tentang teori perikanan, pengolahan hasil laut, dan konservasi, tetapi juga tentang kerja sama, ketahanan mental, serta cara bertahan dalam berbagai situasi di laut maupun darat.

Skripsi yang baru saja ia pertahankan bukan hanya karya ilmiah semata. Ia adalah simbol dari rangkaian perjuangan panjang, malam-malam penuh lembur, eksperimen yang tak selalu berhasil, dan tentu saja doa dari keluarga yang tak pernah putus.

Dengan mengenakan seragam taruni dan wajah penuh haru, Mona menjalani sidang akhir skripsinya dengan tenang dan percaya diri dan sedikit gugup berdiri di depan dia orang penguji, mungkin dia membayangkan berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa.Tetapi, saat penguji mengangguk puas, air mata Mona tak bisa ia bendung lagi bukan air mata kelemahan, tetapi air mata kemenangan.

Apa yang membuat kisah Mona begitu istimewa?

Ia bukan berasal dari keluarga serba ada. Ayahnya telah berpulang saat ia masih kecil, dan sebagian besar masa remajanya ia habiskan bersama sang nenek yang ia panggil Attaenek. Sosok inilah yang menjadi tempat sandaran dan sumber doa di setiap langkah Mona. Semangat Attaennek yang sederhana namun kokoh, menjadi energi tersendiri bagi Mona untuk terus melangkah maju.

Kini, setelah ujian skripsi berhasil ia lewati, Mona tinggal selangkah lagi menuju wisuda. Gelar sarjana terapan bukanlah akhir dari mimpi, tetapi pintu awal untuk masa depan yang lebih besar. Ia ingin mengabdi di sektor yang sesuai dengan pendidikannya, membawa ilmu yang ia pelajari ke masyarakat.

Dari Bitung, suara Mona menggema—bahwa perempuan muda Indonesia juga bisa menaklukkan lautan, berdiri di ruang sidang dengan kepala tegak, dan membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk meraih keberhasilan.

Selamat, Mona Putri Yudifa. Laut telah engkau kenali, badai telah engkau lewati. Kini saatnya mengarungi samudra yang lebih luas, dengan iman, ilmu, dan impian yang tak pernah padam.

Hari ini, sudah genap tiga tahun kamu di Bitung, tiga tahun yang tidak biasa, tiga tahun yang penuh air mata, perjuangan, juga pembuktian bahwa kamu bukan perempuan yang mudah menyerah.

Aku masih ingat hari pertama kamu berangkat dengan pelukan panjang bersama Attaenek, kami mengantarmu ke Bandara Sultan Hasanuddin. Di sana kami bertemu dengan tiga orang calon taruna yang juga akan mengikuti pendidikan.

Drama haru pun di mulai, aku melihat kamu menangis, ternyata air matamu cukup banyak juga ya. Sebelum-sebelumnya kamu juga sudah banyak mengeluarkan air mata, saat menyusun pakaian ke dalam kopermu, dan saat merapikan barang bawaanmu kamu menangis lagi. Kalau dilihat dari luar kamu itu orangnya tomboi, tapi gampang terharu juga (wkwkwkwkwk).

Tiga hari saat kamu tiba di kota Bitung, kota yang begitu asing bagimu. Kota yang menjadi tempat tinggal kamu selama tiga tahun menjalani pendidikan. Aku mendapat kiriman video mu dari seorang senior yang juga masih keluarga terdekat kita, Nak Farhan.

Di Vidieo itu, aku melihat kamu membawa koper besar dan ember, menenteng sapu ijuk dan sapu lidi memakai kemeja putih dan celana kain hitam mirip petugas kebersihan siap membersihkan kamar mandi (hahahaha).

Kamu melangkah masuk ke dunia yang jauh dari rumah, jauh dari zona nyaman. Melihatnya membuat hati ini, sesak. Tiba-tiba kubayangkan bagaimana aku dulu di siksa senior saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus. Ternyata siksaan yang kau dapatkan lebih dari apa yang aku rasakan dulu.

Tiga bulan masa pembaretan, bukan waktu yang singkat Mona. Tanganmu sempat melepuh yang katanya kamu selalu guling-guling di lapangan, guling-guling di lumpur. Tiada hari tanpa lari keliling lapangan tidak peduli pagi, siang, sore dan malam. Tapi kamu enjoy, meski hati berontak.

Kamu juga pernah cerita kalau seniormu galak-galak ya. Sampai pernah satu kali kamu nyaris berkelahi dengan seorang senior yang katamu tiba-tiba dia memukulmu padahal kamu tidak melakukan kesalahan. Kamu melawan dan dia lebih marah lagi, akhirnya kalian bentrok, tidak lama kemudian damai.

Oh, iya. Kamu juga sudah pernah berniat untuk kabur dan berkali-kali menangis di Mushallah. Kamu dan beberapa teman dari Makassar, kadang tidak terima kalau selalu diperlakukan tidak adil oleh senior. Katamu, lompat lewat belakang kampus, naik ke ke atas gunung, kamu sudah hafal jalannya sebab sering latihan di sana.

Lalu, kamu ketemu Noni (almarhumah), seorang Taruni cantik yang baik dan lebih dewasa. Dia memberi nasehat agar kamu bertahan, dia bilang “Mona kita harus tetap di sini dan selesai sama-sama. Kita tinggalkan kampus setelah wisuda,”katanya. Dia sendiri yang cerita itu, pada saya saat ketemu dulu. Sayang sekali, takdir berkata lain. Noni meninggalkan kampus, meninggalkan kalian semua sebelum wisuda.

Seminggu sebelum ujian kamu mengirim Salempang bertuliskan “Mona Putri Yudifa. AMd.Pi, dengan pesan saya akan sidang tanggal 16 Juni 2025”

2 thoughts on “Mona, Kamu di Antara Doa dan Harapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *