Aksi demonstasi mahasiswa dan sejumlah komunitas yang berlangsung di kota Makassar, sejak siang sungguh mencuri perhatianku. Teringat masa lalu, sering turun ke jalan meliput aksi mahasiswa. Kala itu, senang sekali rasanya, apalagi saat melihat para demonstran dibubarkan oleh aparat sementara mereka masih tetap bertahan.
Situasi seperti itu, membuat liputan saya menjadi sempurna, banyak bahan yang bisa disodorkan pada pembaca esok hari. Sebab zaman itu, belum ada media online, belum ada media sosial, belum ada konten kreator yang bisa menyiarkan langsung peristiwa. Sehingga masyarakat menunggu satu hari untuk tahu kejadian pada hari sebelumnya.
Jumat Malam, 29 Agustus 2025. Saya memantau sejumlah media sosial, tidak satu pun terlewatkan. Aksi mahasiswa berlanjut hingga malam dan berakhir ricuh pada tengah malam. Semakin malam, suasana semakin memanas. Hingga kabar itu datang, kantor DPRD Makassar terbakar. Api menjulang, membelah langit malam, Videonya ramaikan sejumlah media sosial.
Saya terdiam, sementara seluruh anggota keluarga sudah terlelap. Kemudian saya memilih membuka tablet, mencoba menuliskan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu yang bergemuruh, Saya salut pada mahasiswa yang terus menyuarakan keadilan, mengungkapkan keresahan rakyat dan ketidakpuasan terhadap keputusan pemerintah yang sangat membebani masyarakat.
Tetapi, ketika melihat kantor DPRD Makassar dan kantor DPRD Sulsel, dibakar. Hatiku tiba-tiba sedih, marah, sekaligus takut. Beginikah cara menyampaikan aspirasi? Sudah berkelaskah caranya? sejuta pertanyaan berkecamuk, membebani pikiranku.
Gedung itu, sudah habis terbakar dan nanti pemerintah akan menganggarkan lagi pembangunan gedung baru, uangnya tentu dari kita juga. Bukan hanya gedung, puluhan kendaraan roda empat dan roda dua milik kepala dinas dan para pejabat pemerintah juga habis terbakar.
YA, pada hari terjadinya insiden pembakaran, seluruh anggota dewan berkumpul, wali kota makassar dan wakilnya serta jajaran kepala dinas, kepala seksi hadir mengikuti Rapat Paripurna. Wali kota dan wakilnya, serta kepala dinas diselamatkan lewat pintu belakang menggunakan kendaraan roda dua. Sejumlah kepala dinas pun banyak yang meninggalkan mobilnya di parkiran kantor DPRD. Malam harinya kendaraan itu sudah terbakar, dan paginya menjadi abu.
Suasana Malam Semakin Mencekam
Gedung yang siang tadi masih terlihat megah, kini tinggal arang dan puing. Di antara sisa asap itu, ditemukan jasad seorang perempuan, staf komisi, yang setiap hari datang bekerja tanpa pernah menjadi sorotan. Ia bukan pengambil kebijakan, ia hanya menjalankan tugas.
Masih di gedung yang sama ditemukan staf Humas DPRD, orang yang sehari-hari hanya memegang kamera, mengabadikan kegiatan anggota dewan agar terlihat rapi di pemberitaan. Ada pula seorang staf kantor kecamatan, dan satu lagi anggota Satpol PP.
Ya Allah, merinding rasanya tubuh ini mendengar kabar itu. Mereka tidak bersalah, mereka bukan bagian dari janji-janji politik yang diingkari. Mereka bukan bagian dari kebijakan yang menyakiti rakyat. Mereka hanyalah orang-orang biasa yang bekerja, yang barangkali pagi tadi sempat tersenyum pada keluarga sebelum berangkat, tanpa pernah tahu bahwa itu adalah hari terakhirnya.
Suasana Makassar Jumat malam, sungguh membuat hatiku pilu, demo memang hak rakyat, suara memang harus lantang. Tapi ketika amarah berubah menjadi bara, siapa yang bisa memastikan bahwa yang terbakar bukanlah orang-orang yang sama sekali tak bersalah?
Namun, dari semua itu, kematian tiga orang di dalam gedung sungguh menyisakan luka yang jauh lebih dalam daripada dinding hangus. Luka itu bernama kehilangan. Kehilangan itu akan dirasakan selamanya oleh keluarga yang ditinggalkan.
Gedung Hangus, Pemulung Berdatangan
Makassar mencatat sejarah di akhir Agustus 2025, gedung DPRD hangus terbakar, tidak ada yang tersisa, semua menjadi debu. Paginya di hari Sabtu, gedung yang apinya belum padam kembali dipadati manusia. Mereka datang membawa kepentingan yang berbeda, ada yang menyelamatkan barang-barang yang masih utuh, dan mengambil alat-alat pada kendaraan roda empat yang sudah menjadi debu.
Pemulung berdatangan, merebut besi-besi tua, bahkan Saya sempat melihat ada beberapa orang yang membawa alat untuk mengambil benda-benda yang masih terpajang di dinding. Kursi anggota dewan masih utuh pun jadi rebutan.