Affan dan Dandi, Dua Nama, Dua Kota, Satu Takdir

Tragedi Aksi Akhir Agustus 2025

Di dua kota yang berbeda, dua nama terukir dalam duka yang sama. Rusdamdiansyah atau Dandi, seorang driver Ojol di Makassar, Affan Kurniawan di Jakarta. Mereka hanyalah pencari nafkah di jalanan, namun malam itu jalan justru menjadi saksi bisu kepergian mereka.

Affan, seorang driver ojek online berusia 21 tahun, setiap hari meninggalkan rumah dengan satu tujuan mencari nafkah demi keluarganya. Hidup dalam keterbatasan tak membuatnya menyerah, justru menggerakkan hatinya untuk ikut membantu sang ayah yang juga bekerja sebagai driver. Di balik tubuh mudanya yang letih, tersimpan tekad sederhana agar keluarganya bisa bertahan.

Siapa sangka langkahnya begitu cepat terhenti, semangat juangnya pun terkubur bersama raganya. Affan menjadi korban ketidakadilan aparat kepolisian. Malam itu, Kamis 28 Agustus 2025, ia tak pernah berniat ikut berteriak dalam barisan demonstrasi. Ia hanya sedang menjalankan tugasnya, mengantarkan pesanan yang dipesan seorang pelanggan. Namun, takdir berkata lain ketika kendaraan taktis milik Brimob melintas, tubuh ringkihnya tak mampu menghindar. Roda besi itu menghentikan hidupnya.

Affan meninggal. Kepergiannya yang tragis tak hanya meninggalkan duka di rumah kecil tempat ia dibesarkan, tetapi juga menghadirkan luka mendalam di hati masyarakat Indonesia dari berbagai penjuru negeri. Seorang anak muda yang seharusnya pulang dengan senyum dan hasil jerih payah, justru pulang dalam keheningan kafan.

Rakyat pun marah, rakyat murka. Dari Makassar hingga Jakarta, dari pelosok desa hingga jalanan kota, nama Affan disebut dengan getir. Ia bukan lagi sekadar driver ojek online berusia 21 tahun yang bekerja demi keluarga, melainkan simbol ketidakadilan yang merenggut masa depan seorang anak bangsa.

Bagi rakyat, Affan bukan hanya korban, ia adalah wajah perlawanan, suara yang dibungkam oleh kekerasan, dan jiwa yang harus diperjuangkan agar keadilan tak sekadar jadi kata tanpa makna.

Dimata Zulkifli, ayah kandung Affan, anak kedua dari empat bersaudara itu, memiliki sosok yang penyayang, dan perhatian terhadap keluarganya. Baik kepada semua orang dan tidak pernah berkata kasar, sekalipun sedang kesal. Affan tidak pernah mau terlibat dalam aksi kekerasan, hari itu tidak pernah dia mengatakan akan mengikuti demo, atau ikut menonton.

Bagi ayahnya, Affan bukan hanya seorang anak, ia adalah tulang punggung kecil bagi keluarganya. Dengan penghasilan yang pas-pasan, ia selalu berusaha membantu keuangan rumah, bahkan tak jarang ia ikut membantu ayahnya mencicil kendaraan yang mereka gunakan bergantian untuk bekerja sebagai driver ojek online.

Di sejumlah wawancara, Zulkifli ayah Affan kerap merasa bangga sekaligus terharu, memiliki anak yang begitu peduli di usia yang masih belia. Baginya, Affan adalah anugerah, penopang semangat dan harapan di tengah hidup yang serba kekurangan.

Kabar duka yang datang malam itu, terasa mustahil dipercaya. Seolah bumi runtuh, sang ayah tak kuasa menerima kenyataan bahwa anak yang baru saja berangkat mencari nafkah, kini telah tiada. Affan pergi secara tragis, meregang nyawa di tengah aksi yang ricuh di depan gedung DPR RI, meninggalkan luka yang tak akan pernah terhapus dari hati keluarganya.

Rusdamdiansyah Tewas Dipukuli Dikira Intel

Di Makassar, ada seorang pemuda bernama Muhammad Rusdamdiansyah, akrab disapa Dandi. Sehari-hari ia mengais rezeki dari jalanan kota sebagai driver ojek online (Grab). Panas terik, hujan deras, hingga malam larut yang sepi sudah menjadi sahabatnya dalam mencari nafkah.

Karena itu, Dandi memilih diam di rumah. Kata Reza, adik iparnya, hari itu ia tidak keluar mencari orderan dan menghabiskan Waktu dengan tiduran, seolah ingin menghindar dari hiruk pikuk kota yang sudah dipenuhi kabar kerusuhan. Hingga menjelang senja, sekitar pukul 17.00, ia terbangun dari tidur siang.

Rumah tempat Dandi tinggal memang tak jauh dari titik aksi mahasiswa, hanya terpisah lorong sempit. Niatnya sederhana, mungkin sekadar ingin melihat-lihat situasi. Malam itu ia bahkan hanya berjalan kaki, tanpa rencana besar selain menonton aksi.

Namun siapa sangka, langkah singkat itu justru menyeretnya ke dalam tragedi. Menjelang malam, di tengah kericuhan yang makin panas, tiba-tiba teriakan pecah dari kerumunan, “Intel!” Suara itu menggema, memicu amarah yang sudah membara.

Dandi, pemuda 25 tahun itu, seketika menjadi sasaran. Massa yang kalap tak lagi peduli benar atau salah. Emosi yang menutup akal sehat menjelma menjadi kekerasan. Mereka menghajar Dandi tanpa ampun, memukul kepalanya dengan benda tumpul. Tubuh yang sebelumnya hanya berniat keluar untuk melihat aksi, menjadi korban salah sangka yang mematikan.

Tubuhnya terbujur kaku, saat itupula seseorang melarikannya ke rumah sakit terdekat. Namun,tidak tertolong. Menurut Reza, ada yang menghubungi menggunakan handphone Dandi. Dia mengabarkan bahwa saudaranya sedang di rumah sakit karena kecelakaan. Tapi, keluarganya tidak percaya.

Dandi sempat menjalani perawatan medis, namun kondisinya terus menurun hingga dinyatakan meninggal Sabtu 30 Agustus 2025, dia menjadi korban setelah dituduh sebagai intel saat unjuk rasa di depan kampus UMI yang berujung ricuh.

Affan dan Dandi telah pergi dengan cara yang tak pernah kita bayangkan. Dua anak bangsa yang sederhana, pekerja keras, yang hanya ingin mencari nafkah untuk keluarga. Namun, takdir menjemput mereka di tengah hiruk-pikuk bangsa yang sedang bergolak.

Kepergian mereka bukan sekadar duka bagi keluarga, tetapi juga cambuk bagi kita semua betapa mudahnya nyawa melayang saat amarah menguasai dan keadilan abai ditegakkan.

Ya Allah, ampunilah mereka, lapangkanlah kuburnya, jadikanlah setiap langkah mereka sebagai amal jariyah, dan tempatkanlah mereka di sisi-Mu. Semoga kita yang ditinggalkan, bisa belajar untuk lebih bijak menjaga persaudaraan, menahan amarah, dan menegakkan kebenaran dengan cara yang Engkau Ridhohi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *